topbella

Kamis, 29 Juli 2021

Hai Diri... Terima Kasih Telah Bertahan Sejauh Ini


Terkadang kita perlu sesekali membuka lembar nostalgia untuk sekedar menghibur hati yang sedang lelah... 

Sekedar meningkatkan rasa syukur, bahwa ternyata banyak kisah manis, indah, dan berharga yang pernah dilalui di masa silam...

Sesekali, katakanlah pada diri... 

"Tak masalah untuk beristirahat dan berhenti sejenak saat ini. Mungkin engkau lelah. Terima kasih telah berjuang dan bertahan sejauh ini".
Read More..

Kamis, 15 Juli 2021

Skenario Tuhan dalam Perjalananku Menemukan Jodoh

"Tidak. Aku tak bisa menerimanya. Ia mengagumkan secara keilmuan, namun sangat jauh dari tipeku secara fisik". 

Entah berapa kali kalimat itu berputar bagai kaset rusak dalam benak Zahra. Wanita asal Ibu kota yang berstatus mahasiswi tingkat akhir di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di kota pelajar. Meyakinkan diri, bahwa proses ta'aruf dan nadzor yang saat ini sedang ia jalani tak bisa dilanjutkan. Gadis itu benar-benar tak serius dalam proses perjodohan ini. Ia memang ingin menikah, tapi bukan dengan pria yang saat ini sedang membasuh dirinya dengan air wudhu di pojok ruang mushola.

Sosok pria itu berdiri bersama bang Ahmad, tak jauh dari tempat Zahra duduk. Bang Ahmad satu-satunya saudara Zahra yang beberapa tahun silam memutuskan untuk mulai berhijrah, mencoba mempelajari dan menjalankan sunnah Rasul-Nya yang sebelumnya sering terabaikan. 

Keduanya asik berbincang, mengabaikan gadis berkerudung hitam yang justru sedang tenggelam dalam lamunan bersama pria lain yang berhasil menawan hatinya setahun belakangan. Ya, gadis itu sedang jatuh cinta. Hatinya tertawan pada satu nama yang dua semester lebih membelenggunya dengan pesona dan kharisma yang dimiliki. 

Namanya Andra, pria satu prodi yang berhasil ia dekati saat kata hijrah masih jauh dalam benaknya. Anggap saja ia jahat karena telah berani menggoda pria alim di kelasnya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Gejolak cinta anak kuliahan yang masih jauh dari kata hijrah tak bisa ia bendung. Melalui teman sekelasnya itulah, Allah menuntunnya untuk berbenah dan menemukan jalan hijrah yang saat ini ia tapaki. Mengingat namanya saja hatinya terasa bergetar, ingin rasa membongkar kotak rindu. Diam-diam ia membisikkan nama yang berhasil menawan hatinya disela-sela lamunan. Lirih, hanya angin yang mampu mendengarnya. 

"Allahu akbar. Allahu akbar...." 

Lamunannya terhenti saat terdengar suara iqamah shalat maghrib. Menginterupsi secuil rindu yang tak kunjung hilang bersama senja. 

"Silahkan jadi imam". Bang Ahmad mempersilahkan pria di sampingnya. Pria yang beberapa minggu lalu bertukar CV dengan adik bungsunya. Tak diragukan lagi, dari segi hafalan Al Qur'an dan bacaan, pria itu jauh lebih baik dari sang abang. 

Tanpa komando, Zahra memposisikan diri di shaf wanita. Bersiap untuk ikut shalat berjamaah bersama abang dan pria yang ingin meminangnya. Gadis itu melirik dari balik hijab. Mencoba menyelami lebih jauh objek pandangannya, namun hatinya tak bisa berbohong. 

Sebesar apapun usahanya untuk menerima pria itu, sebesar itu juga akalnya menolak. Belum ia temukan sesuatu yang membuatnya yakin untuk menjadikan pria tersebut sosok imam di masa depan, menjadi nakhoda dalam mahligai rumah tangga yang sangat ingin ia segerakan. 

Sesaat hening. Tak lama kemudian terdengar lantunan ayat Al Qur'an yang begitu indah. Suara dan ritme bacaan sang imam memanjakan telinga gadis itu. Tak menunggu waktu lama hingga getaran itu muncul tanpa malu-malu. Hanya sesaat, kemudian berganti dengan ketenangan yang menyeruak masuk tanpa permisi. Menyejukkan hati yang selama ini dirundung galau dan sepi. 

Semakin lama, Zahra semakin terhanyut dalam bacaannya. Semakin panjang ayat yang pria itu baca, semakin besar damai menyelimuti gadis yang hendak dipinangnya. Terasa ada bagian kosong dalam diri gadis itu yang saat ini sedang terisi. Tanpa kompromi hatinya berbisik, "Aku menerimanya". Ia terbius dan entah keyakinan itu dari mana datangnya, namun ia sangat yakin bahwa apa yang terjadi saat ini tak lepas dari campur tangan Allah. Apa yang sulit bagi Allah?. Hingga rakaat terakhir hatinya masih sama. Bismillah, ia akan menerimanya. 

Ajaib? Zahra pun merasakannya. Baru beberapa menit yang lalu, pikiran rasionalnya menolak. Kini, entah kenapa ia begitu yakin bahwa pria di depannyalah sosok yang ia butuhkan. Sosok yang dalam sekejap mengingatkannya akan Sang Pencipta dan mampu mengisi rasa kosong yang selama ini selalu ia nafikan. 

Mungkin pria itu bukan sosok yang ia inginkan, tapi ia yakin bahwa pria itulah sosok yang ia butuhkan. Sosok yang bisa membantunya menjadi pribadi lebih baik dan istiqomah dalam hijrah. Dimana rasa cinta dan kasmaran kepada Andra, pria satu prodinya yang beberapa menit lalu menggerogoti hati? Sekejap melebur entah kemana. 

Ah, entahlah. Terlalu banyak rasa yang tak mampu ia kemas dalam kata. 

Hari ini ia belajar, pada akhirnya Allah yang menggenggam hati hamba-Nya. Perkara hati seringkali diluar kuasa kita sebagai manusia. 

Kita boleh mengatakan, "dia bukan tipeku", namun jika Allah menakdirkannya menjadi jodohmu, maka akan ada saja cara Allah untuk melembutkan hatimu dan menerimanya. Sebaliknya, secinta dan sekuat apapun usahamu untuk bersama orang yang dicintai, jika bukan jodoh, akan ada saja cara Allah untuk memisahkan dua hati yang sedang dilanda asmara. Semudah dan sesingkat pertemuannya bersama pria yang saat ini sedang duduk berdzikir di hadapannya, di atas sajadah musholah.


'Aisyah Yusriani Al Haddad



(Diambil dari buku Live the Life with Love) 



NB : Kisah di atas terjadi sekitar 5 tahun silam, dan sekarang keduanya telah menikah serta dikaruniai satu orang anak ^^




Read More..

Selasa, 13 Juli 2021

Cuplikan Cerita di Waktu Dhuha


"Kring..." 

Bel waktu istirahat berbunyi. Sekarang pukul 09.30 WIB, itu berarti aku memiliki 30 menit dari sekarang yang harus aku gunakan seefisien mungkin. Dengan segera aku bergegas menuju kamar mandi. Tempat pertama yang akan aku tuju saat waktu istirahat tiba. 

"Assalamu'alaikum mbak". Sapa Qonita, teman sekelasku. Ucapan salam saat bertemu merupakan sunnah yang telah menjadi tradisi di pondok pesantren yang belum genap setahun aku berada di dalamnya. 

"Wa'alaikumussalam warahmatullah". Jawabku lembut tanpa mengurangi tempo langkahku yang memburu. 

Tak sabar, aku ingin segera sampai ke kamar mandi. Dan akhirnya, kutemukan mereka. Dua ember berisi cucian yang telah aku cuci sebelum berangkat ke sekolah pagi ini. Tidak. Ini semua bukan pakaianku, melainkan pakaian teman-teman angkatan yang diberikan kepadaku untuk dicuci.

Sosoknya berdiri di sana dengan pandangan yang berkaca-kaca disertai senyum yang dipaksakan. 

"Mau aku bantu nggak?" Tanyanya dari luar kamar mandi. 

"Tidak. Ini sudah selesai. Tinggal dijemur ke lantai tiga". Jawabku halus mencoba memahami perasaannya. 

"Kamu udah bilang mamah?". Untuk kesekian kalinya ia bertanya pertanyaan yang sama. 

"Tidak. Cukup kamu saja yang tau". Jawabku sembari sedikit tersenyum padanya. Sudah bisa kubayangkan bagaimana ekspresi penolakan mamah saat tahu anaknya menjadi tukang laundry di asrama. Bukan sekedar fokus belajar dan menghafal Al Qur'an, tapi malah mencuci pakaian kotor orang lain disaat uang saku tak pernah kurang dan selalu diberikan bahkan sebelum aku meminta. 

Tanpa kata, sosoknya menghilang dari luar pintu kamar mandi. Meninggalkan perasaan bersalah dalam diriku. Dialah orang pertama yang marah saat tahu aku menawarkan jasa laundry kepada teman-temanku. Dia saudari sepupu yang tahu betul bahwa aku anak manja yang belum pernah merasakan susah dan selalu dilayani oleh banyak orang sejak kecil. Kemarahan dan sedihnya kutahu merupakan wujud dari kepeduliannya kepadaku. 

Belum genap satu menit, tiba-tiba... 

"Eh, ngapain?" Tanyaku kaget. Tanpa permisi ia mengangkat satu ember cucian yang telah aku beri pewangi. 

Dengan enggan ia berujar, "Aku bantu aja, nanti lama". Suatu perkataan yang lebih terdengar seperti perintah ditelingaku. 

"Baiklah." Jawabku mengiyakan tanpa sedikitpun terbesit untuk menolak. 

"Kamu janji ya, secepatnya berhenti nyuci baju orang. Kalau mamah kamu tau pasti marah". 

"Insya Allah." Jawabku ragu. Ragu, karena aku sendiri tak tahu kapan akan berhenti. Terlalu indah rasanya saat bisa membeli apa yang kita inginkan dengan uang sendiri tanpa harus meminta kepada orang tua, apalagi diusia remaja. 

Sembari membaca ayat Al Qur'an yang hendak aku setorkan sore nanti, ku ikuti langkahnya menaiki setiap anak tangga menuju lantai tiga. Aku tersenyum. Indah rasanya. Kelak, saat-saat seperti ini akan aku rindukan. Saat-saat dimana aku memilih untuk berjuang dan mengisi lembar kehidupanku dengan hal-hal yang bermanfaat dan pengalaman baru. Kisah yang akan aku bagikan kepada anak cucuku nanti, bahwa pernah merasakan hidup dengan perjuangan itu indah dan akan berbeda jika enggan keluar dari zona nyaman. 

Dan yang terpenting, jika kelak Tuhan Semesta Alam bertanya, "Dengan apa engkau gunakan masa mudamu?", maka aku akan menjawab sembari tersenyum, "Dengan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat dan beribadah kepadaMu ya Rabb".


'Aisyah Yusriani Al Haddad 


(Ditulis kembali dari buku Live the Life with Love)



Read More..

Sabtu, 10 Juli 2021

Jika Engkau Mampu Mengukir Kisah Hidupmu dengan Tinta Emas, Maka Lakukanlah!


August, 2020


Tak terasa sudah sepertiga malam, dan aku masih berkutat di depan laptop menyelesaikan tugas perkuliahan sembari jaga malam. 

Malam ini kebetulan ada pasien inpartu yang mengharuskan untuk tetap terjaga. Dan seperti biasa, pagi harus tetap masuk kuliah. Semenjak melanjutkan studi lagi, sudah sangat jarang punya waktu untuk main. Tidak seperti kuliah yang pertama kali, sesibuk-sibuknya masih punya waktu untuk main. 
 
Kini rutinitas setiap hari, pagi sampai sore full kuliah, sore langsung kerja sampai malam pukul 22.00 WIB, lepas jaga langsung maratonan sama deadline tugas yang setiap hari harus dikumpulkan maksimal pukul 00.00 WIB. Setelah itu langsung beberes, nyuci, mandi, sholat, ngaji yang seringnya semua selesai sampai jam 02.30 WIB. Jam empat subuh sudah harus bangun lagi dan berativitas seperti sebelumnya. 



 
Capek?

Tentu.

Dulu sejak zaman putih abu-abu sudah pernah merasakan sekolah sembari bekerja mencari penghasilan sendiri. Pengahasilan tidak seberapa memang, ditambah kegiatan ponpes yang super padat, hingga hampir tak ada waktu untuk istirahat. Tapi ada kepuasan tersendiri di kala itu. Saat itu bukan karena kekurangan uang, tapi pilihan. Memilih untuk mengukir kisah hidup yang lebih bermakna, agar indah untuk dikenang suatu saat nanti. Memilih untuk berjuang di saat yang lain sibuk bersenang-senang. Dan sekarang aku merasakannya lagi. Beberapa hari lalu kakak bertanya, "Kamu tidak kekurangan uang kan hingga akhirnya kerja dan bukannya fokus kuliah?".


Tentu TIDAK. Alhamdulillah...


Tapi ini bukan sekedar perkara uang. Tapi sejarah. Tentang kisah hidup. Tentang pengalaman dan skenario hidup yang sedang dirangkai agar indah untuk dikenang suatu hari nanti. Sehingga kelak dapat aku ceritakan kepada anak cucu sebagai pelajaran dan motivasi hidup, bukan hanya sekedar membagikan teori yang belum pernah diimplementasikan. 



Jika engkau mampu mengukir kisah hidupmu dengan tinta emas, maka lakukanlah... 

Apapun yang kita lakukan saat ini pada akhirnya akan menjadi kenangan... 

Kenangan yang bisa kita kenang suatu saat nanti, bahkan bisa kita ceritakan kepada orang-orang bahwa dahulu aku pernah melakukan hal ini dan itu, pernah mendapatkan ini dan itu. 

Sebuah kisah klasik yang dapat memberi kepuasan tersendiri saat kita mengenangnya suatu saat nanti





Read More..

Rabu, 07 Juli 2021

Sesayang dan Secinta Apapun Seseorang Kepadamu, Dia Juga Punya Hati yang Harus Dijaga

Dulu selalu menuntut agar orang terdekat menerima segala burukku. Sempat berpikir, jika bukan kepada mereka aku bisa mengeluh, marah, menangis, sedih dan menunjukan "inilah aku" tanpa ada rasa tidak enakan, maka kepada siapa lagi??? 

Tapi pada akhirnya aku tersadar, "Mereka juga manusia yang punya hati dan batas kesabaran. Jika mereka yang harus selalu mengikuti keinginanmu, maka bagaimana dengan diri mereka sendiri?" 

Dulu, karena adik super dewasa dan bijak, jadi suka manja sama adik sendiri. Sungguh berbanding terbalik dari peran seorang kakak yang seharusnya >_<. 

Sampai pada satu kejadian Allah menyadarkanku... 
Sedewasa apapun dia, dia juga butuh sosok yang bisa dijadikan tempat bersandar, tempat berbagi rasa dan keluh kesah. Jika bukan kepada kakak kandungnya sendiri, maka pada siapa lagi? Jangan sampai dia mencari figur yang hilang kepada orang lain.


Pada akhirnya kita harus sadar, bahwa hidup juga tentang bagaimana saling memahami. Jika orang lain mampu kita berikan layanan dan perlakuan yang baik sepanjang waktu, maka kenapa tidak untuk orang terdekat yang kita sayang? 

Hidup juga tentang pengorbanan. 

Lelah? 

Capek sabar mulu? 

Baik mulu? 

Memang. Karena hidup memang untuk berjuang, berkorban, dan melakukan hal-hal terbaik yang kita bisa. Jika ingin senang-senang, tunggu nanti. Di akhirat. Semua pengorbanan, kesabaran, dan rindumu akan sesuatu yang tertahan akan terbalas kok. Tidak sekarang, tapi nanti. Tidak ada satupun yang akan Allah sia-siakan atas apa yang telah dilakukan. Intinya, jangan perlakukan orang sesuka hati. Jangan egois. Sesayang dan secinta apapun seseorang kepadamu, dia juga punya hati yang harus dijaga dan dihargai.
Read More..

Hidayah Bukan Milikmu

Dengan langkah memburu aku menemuinya 

"Kamu merokok?". 

Wajahnya berpaling, memperlihatkan dengan jelas keengganannya menjawab pertanyaanku. Kulihat abu rokok berserakan di sudut ruangan.  Seketika sesak mendera.

Dalam benak terus terpikir untuk segera pergi dan tak terhanyut dengan masalah yang dibuat. Tersadar telah kutinggalkan banyak orang demi dia. Kilasan memori dua bulan lalu berputar layaknya sebuah cuplikan film. 

Teringat asalan dekat dengannya tak lain untuk murubahnya agar kembali ke jalan yang benar, hidup dengan lebih baik dan terarah. Betapa investasi akhirat yang menggiurkan bukan? 

Sosok yang kulihat kehilangan pegangan dan aku berharap semua yang aku lakukan dapat menjadi investasi akhirat saat jasad telah melebur bersama tanah. 

"Ka, jangan pergi. Kalau kakak juga pergi, lalu siapa lagi yang sayang sama aku?" 

"Lihatlah, banyak orang yang sangat peduli sama kakak. Sedangkan aku?"  Ucapannya terhenti, menoleh ke atas dan menarik oksigen dalam-dalam 

"Tetaplah tinggal". 

***

Pada akhirnya aku semakin tersadar, bahwa sekeras apapun usaha kita merubah seseorang, pada akhirnya hidayah tetaplah milik-Nya dan Dialah yang menentukan kepada siapa hidayah itu hendak Ia beri. Sungguh, hidayah itu bukan milikmu yang bebas engkau berikan kepada siapa saja yang engkau kehendaki.

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Al Qashash: 56)
Read More..

Minggu, 11 Oktober 2020

Berhijrahlah dengan Jujur



Selelah, dan sejenuh apapun dirimu dalam hijrah... 

Bertahanlah! 

Bertahanlah hingga akhir!

 Bukan Allah tak peduli padamu, akan tetapi Allah ingin pembuktian seberapa besar keimanan dan ketaatanmu kepadaNya... 

Berhijrahlah dengan jujur... 

Kelak, akan ada masa dimana Allah akan membalas seluruh ketaqwaan yang engkau usahakan karenaNya... 

Jika bukan di dunia, maka sebaik-baik balasan yang Ia berikan adalah di SurgaNya kelak

Read More..

Selasa, 29 September 2020

Dunia




Dunia... 

Seringkali menggiurkan, tapi juga menakutkan disaat yang sama... 

Mungkin bukan lelah, karena nyatanya lalai lebih dominan dibanding istiqomah di jalanNya...

Ya, ini bukan lelah... 
 
Ini rasa takut... 
 
Takut kehilangan kesenangan... 

Takut tak kuat menahan sakit, hingga akhirnya gagal sebelum berlabuh... 
 
Apapun itu... 
 
Semoga Allah -عز وجل - mengistiqomahkan kita hingga penghujung jalan...
 




Read More..

Minggu, 06 September 2020

Cerita yang Tak Pernah Usai, Jika Itu Tentangmu

Yogyakarta, 6 September 2020...

 

Apa kabar? 

Malam di kota ini semakin larut. Sepi, tapi tidak dengan suasana hati yang sedang bergemuruh. Sejenak menyesapi berbagai rasa yang selama ini selalu hadir namun sesaat. 

Rindu. Hanya kata itu yang mampu mewakili seluruh rasa yang bersemayam tanpa permisi. Satu-satunya rasa yang kuizinkan tinggal tanpa ada niatan mengabaikan. Tanpa harus ditepis, ataupun dimusnahkan kehadirannya. 

Rasa ini selalu berhasil membuatku berbicara tentangmu, lagi… dan lagi. 

Denganmu, aku belajar apa itu cinta sejati. Bukan hanya cinta, tapi juga rindu. Satu rasa yang tak pernah menyakiti jika itu tentangmu. 

Denganmu aku tersadar, bahwa bukan cinta sesungguhnya jika tak mendoakan, tak berjuang, ataupun berusaha agar orang yang dicintai mendapatkan sesuatu yang terbaik. 

Jika dahulu engkau yang selalu berjuang untukku, kini… izinkan aku yang berjuang untukmu. Izinkan aku merasakan sakit untukmu. Sakit yang dapat membuatmu damai dalam sunyi. Biar kurasakan. Semoga aku kuat…

Aku rindu… 
Allah Tahu, seberapa sering aku membisikikkan kata itu. Menyebutmu dalam doa. Berharap agar engkau mendapatkan tempat yang baik disana. 
 
Selalu menyebut semua kebaikan dan berbagai perubahan yang aku lakukan karenamu atas izin Allah. Itu salah satu cara yang aku lakukan, agar pahala tak pernah putus untukmu. Selalu kubisikan padaNya, bahwa aku mengetahui dan melakukan kebaikan A, B, dan C itu melaluimu… Ku katakan tanpa bosan… Selalu. 
 
Dalam hening aku merenung… 
Akankah kita bertemu kembali? Mengulang berbagai moment indah saat bersama? Saat yang tak akan pernah aku lupa ialah, saat memeluk dan mencium aroma parfum milikmu. Bahkan saat engkau dalam keadaan menyetir, yang menjadi kegemaranku adalah merangkul lehermu dari kursi belakang seraya mendalami aroma bahumu yang tertutupi oleh baju kaos yang engkau gunakan. 
 
Mengingat hal itu, aku kembali tersenyum. Banyak senyuman yang disertai air mata saat aku menulis ini. Indah, tanpa ada rasa sakit… 
 
Dulu, kita sering berpergian bersama. Saat kecil hingga SMP, aku yang paling sering engkau ajak safar berdua ke kampung halaman, Pare-Pare. Hampir setiap tahun engkau mengajakku. Hanya kita berdua… 
 
Kebiasaanku untuk ikut kemanapun engkau pergi tak pernah hilang. Hingga masuk masa putih abu-abu juga masih sama, aku selalu suka mengekori kemana kakimu melangkah. 
 
Terimakasih atas semua perhatian, kasih sayang, kelembutan, dan berbagai perlakuan manis yang selalu engkau berikan padaku sejak kecil hingga dewasa. 
 
Aku sangat bersyukur Allah pernah menitipkanku kepadamu. Allah menjagaku dengan baik melaluimu… 
 
Terima kasih telah meninggalkan cerita yang baik untuk dikenang. Engkau bukan sosok yang sempurnah, tapi engkau selalu tau bagaimana cara mendidik dan memberi hukuman tanpa harus meninggalkan bekas, hingga yang aku tahu tentangmu segalanya merupakan hal yang baik. Izinkan aku sekali lagi mengatakan 
 
RINDU. 
 
Aku merindukanmu sebagai sosok yang paling menyayangi dan memahamiku di bawah kolong langit. Sosok yang selalu paham tanpa aku harus bercerita panjang lebar. Mungkin aku kehilangan itu, tapi aku yakin suatu saat Allah akan menggantinya...
 

 
-Your baby girl-
Read More..

Minggu, 30 Agustus 2020

Belajar Memahami

Beberapa tahun lalu punya teman yang saat bersama keluhannya begitu banyak. Sakit fisik yang diderita, masalah keluarga, pertemanan, dll. Akan tetapi, saat bersama orang lain dia terlihat baik-baik saja, bahkan terlihat ceria. Sakit fisik yang selalu dikeluhkan saat bersamaku melebur entah kemana. 

Saat itu seorang teman berkata, "Kamu ngapain segitunya banget sama dia? Dia itu manja amat. Dia baik-baik saja kok. Aku heran masalah dan sakitnya seberat apa?" 
 
Mendengar itu aku hanya tersenyum. Tak terprovokasi, tapi tidak menyangga juga. Wajar. Aku pun terkadang heran, "Wong dia baik-baik saja kok, tapi kenapa selalu tak pernah ingin ditinggal? Selalu bawel dan selalu terlihat lemah saat bersama?" 
 
Dulu hanya sebatas empati. Sebatas ingin memperlakukan orang lain dengan perlakuan terbaik. Dan yang aku tahu, TOLERANSI SAKIT SETIAP ORANG ITU BERBEDA-BEDA. TIDAK SAMA. KITA MAMPU, BELUM TENTU DIA PUN DEMIKIAN. Bukannya sedang bermain peran. Tidak. Ia hanya tak ingin mengumbar keterpurukan dan rasa sakitnya kepada banyak orang. Itu yang aku pahami.

Seiring berjalannya waktu akhirnya aku belajar, bahwa seseorang terlihat baik-baik saja belum tentu hati dan fisiknya pun demikian. 

Terkadang ada rasa perih yang tertahan dalam setiap tawa. Ada sesak yang tersimpan dalam sebuah keceriaan. Hingga kita menemukan orang yang kita anggap tepat untuk dapat berbagi rasa, berbagi rasa sakit yang sebenarnya tak lagi dapat tertahan dalam waktu yang lebih lama. 
 
Terkadang kita hanya menunggu seseorang yang tepat. Seseorang yang membuat kita nyaman menumpahkan seluruh beban yang tersimpan, dan memperlihatkan bahwa "aku sedang tidak baik-baik saja."
Read More..

About Me

Foto Saya
Akhwat's Note
Just an ordinary girl...
Lihat profil lengkapku