topbella

Selasa, 13 Juli 2021

Cuplikan Cerita di Waktu Dhuha


"Kring..." 

Bel waktu istirahat berbunyi. Sekarang pukul 09.30 WIB, itu berarti aku memiliki 30 menit dari sekarang yang harus aku gunakan seefisien mungkin. Dengan segera aku bergegas menuju kamar mandi. Tempat pertama yang akan aku tuju saat waktu istirahat tiba. 

"Assalamu'alaikum mbak". Sapa Qonita, teman sekelasku. Ucapan salam saat bertemu merupakan sunnah yang telah menjadi tradisi di pondok pesantren yang belum genap setahun aku berada di dalamnya. 

"Wa'alaikumussalam warahmatullah". Jawabku lembut tanpa mengurangi tempo langkahku yang memburu. 

Tak sabar, aku ingin segera sampai ke kamar mandi. Dan akhirnya, kutemukan mereka. Dua ember berisi cucian yang telah aku cuci sebelum berangkat ke sekolah pagi ini. Tidak. Ini semua bukan pakaianku, melainkan pakaian teman-teman angkatan yang diberikan kepadaku untuk dicuci.

Sosoknya berdiri di sana dengan pandangan yang berkaca-kaca disertai senyum yang dipaksakan. 

"Mau aku bantu nggak?" Tanyanya dari luar kamar mandi. 

"Tidak. Ini sudah selesai. Tinggal dijemur ke lantai tiga". Jawabku halus mencoba memahami perasaannya. 

"Kamu udah bilang mamah?". Untuk kesekian kalinya ia bertanya pertanyaan yang sama. 

"Tidak. Cukup kamu saja yang tau". Jawabku sembari sedikit tersenyum padanya. Sudah bisa kubayangkan bagaimana ekspresi penolakan mamah saat tahu anaknya menjadi tukang laundry di asrama. Bukan sekedar fokus belajar dan menghafal Al Qur'an, tapi malah mencuci pakaian kotor orang lain disaat uang saku tak pernah kurang dan selalu diberikan bahkan sebelum aku meminta. 

Tanpa kata, sosoknya menghilang dari luar pintu kamar mandi. Meninggalkan perasaan bersalah dalam diriku. Dialah orang pertama yang marah saat tahu aku menawarkan jasa laundry kepada teman-temanku. Dia saudari sepupu yang tahu betul bahwa aku anak manja yang belum pernah merasakan susah dan selalu dilayani oleh banyak orang sejak kecil. Kemarahan dan sedihnya kutahu merupakan wujud dari kepeduliannya kepadaku. 

Belum genap satu menit, tiba-tiba... 

"Eh, ngapain?" Tanyaku kaget. Tanpa permisi ia mengangkat satu ember cucian yang telah aku beri pewangi. 

Dengan enggan ia berujar, "Aku bantu aja, nanti lama". Suatu perkataan yang lebih terdengar seperti perintah ditelingaku. 

"Baiklah." Jawabku mengiyakan tanpa sedikitpun terbesit untuk menolak. 

"Kamu janji ya, secepatnya berhenti nyuci baju orang. Kalau mamah kamu tau pasti marah". 

"Insya Allah." Jawabku ragu. Ragu, karena aku sendiri tak tahu kapan akan berhenti. Terlalu indah rasanya saat bisa membeli apa yang kita inginkan dengan uang sendiri tanpa harus meminta kepada orang tua, apalagi diusia remaja. 

Sembari membaca ayat Al Qur'an yang hendak aku setorkan sore nanti, ku ikuti langkahnya menaiki setiap anak tangga menuju lantai tiga. Aku tersenyum. Indah rasanya. Kelak, saat-saat seperti ini akan aku rindukan. Saat-saat dimana aku memilih untuk berjuang dan mengisi lembar kehidupanku dengan hal-hal yang bermanfaat dan pengalaman baru. Kisah yang akan aku bagikan kepada anak cucuku nanti, bahwa pernah merasakan hidup dengan perjuangan itu indah dan akan berbeda jika enggan keluar dari zona nyaman. 

Dan yang terpenting, jika kelak Tuhan Semesta Alam bertanya, "Dengan apa engkau gunakan masa mudamu?", maka aku akan menjawab sembari tersenyum, "Dengan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat dan beribadah kepadaMu ya Rabb".


'Aisyah Yusriani Al Haddad 


(Ditulis kembali dari buku Live the Life with Love)



Read More..

Sabtu, 10 Juli 2021

Jika Engkau Mampu Mengukir Kisah Hidupmu dengan Tinta Emas, Maka Lakukanlah!


August, 2020


Tak terasa sudah sepertiga malam, dan aku masih berkutat di depan laptop menyelesaikan tugas perkuliahan sembari jaga malam. 

Malam ini kebetulan ada pasien inpartu yang mengharuskan untuk tetap terjaga. Dan seperti biasa, pagi harus tetap masuk kuliah. Semenjak melanjutkan studi lagi, sudah sangat jarang punya waktu untuk main. Tidak seperti kuliah yang pertama kali, sesibuk-sibuknya masih punya waktu untuk main. 
 
Kini rutinitas setiap hari, pagi sampai sore full kuliah, sore langsung kerja sampai malam pukul 22.00 WIB, lepas jaga langsung maratonan sama deadline tugas yang setiap hari harus dikumpulkan maksimal pukul 00.00 WIB. Setelah itu langsung beberes, nyuci, mandi, sholat, ngaji yang seringnya semua selesai sampai jam 02.30 WIB. Jam empat subuh sudah harus bangun lagi dan berativitas seperti sebelumnya. 



 
Capek?

Tentu.

Dulu sejak zaman putih abu-abu sudah pernah merasakan sekolah sembari bekerja mencari penghasilan sendiri. Pengahasilan tidak seberapa memang, ditambah kegiatan ponpes yang super padat, hingga hampir tak ada waktu untuk istirahat. Tapi ada kepuasan tersendiri di kala itu. Saat itu bukan karena kekurangan uang, tapi pilihan. Memilih untuk mengukir kisah hidup yang lebih bermakna, agar indah untuk dikenang suatu saat nanti. Memilih untuk berjuang di saat yang lain sibuk bersenang-senang. Dan sekarang aku merasakannya lagi. Beberapa hari lalu kakak bertanya, "Kamu tidak kekurangan uang kan hingga akhirnya kerja dan bukannya fokus kuliah?".


Tentu TIDAK. Alhamdulillah...


Tapi ini bukan sekedar perkara uang. Tapi sejarah. Tentang kisah hidup. Tentang pengalaman dan skenario hidup yang sedang dirangkai agar indah untuk dikenang suatu hari nanti. Sehingga kelak dapat aku ceritakan kepada anak cucu sebagai pelajaran dan motivasi hidup, bukan hanya sekedar membagikan teori yang belum pernah diimplementasikan. 



Jika engkau mampu mengukir kisah hidupmu dengan tinta emas, maka lakukanlah... 

Apapun yang kita lakukan saat ini pada akhirnya akan menjadi kenangan... 

Kenangan yang bisa kita kenang suatu saat nanti, bahkan bisa kita ceritakan kepada orang-orang bahwa dahulu aku pernah melakukan hal ini dan itu, pernah mendapatkan ini dan itu. 

Sebuah kisah klasik yang dapat memberi kepuasan tersendiri saat kita mengenangnya suatu saat nanti





Read More..

Rabu, 07 Juli 2021

Sesayang dan Secinta Apapun Seseorang Kepadamu, Dia Juga Punya Hati yang Harus Dijaga

Dulu selalu menuntut agar orang terdekat menerima segala burukku. Sempat berpikir, jika bukan kepada mereka aku bisa mengeluh, marah, menangis, sedih dan menunjukan "inilah aku" tanpa ada rasa tidak enakan, maka kepada siapa lagi??? 

Tapi pada akhirnya aku tersadar, "Mereka juga manusia yang punya hati dan batas kesabaran. Jika mereka yang harus selalu mengikuti keinginanmu, maka bagaimana dengan diri mereka sendiri?" 

Dulu, karena adik super dewasa dan bijak, jadi suka manja sama adik sendiri. Sungguh berbanding terbalik dari peran seorang kakak yang seharusnya >_<. 

Sampai pada satu kejadian Allah menyadarkanku... 
Sedewasa apapun dia, dia juga butuh sosok yang bisa dijadikan tempat bersandar, tempat berbagi rasa dan keluh kesah. Jika bukan kepada kakak kandungnya sendiri, maka pada siapa lagi? Jangan sampai dia mencari figur yang hilang kepada orang lain.


Pada akhirnya kita harus sadar, bahwa hidup juga tentang bagaimana saling memahami. Jika orang lain mampu kita berikan layanan dan perlakuan yang baik sepanjang waktu, maka kenapa tidak untuk orang terdekat yang kita sayang? 

Hidup juga tentang pengorbanan. 

Lelah? 

Capek sabar mulu? 

Baik mulu? 

Memang. Karena hidup memang untuk berjuang, berkorban, dan melakukan hal-hal terbaik yang kita bisa. Jika ingin senang-senang, tunggu nanti. Di akhirat. Semua pengorbanan, kesabaran, dan rindumu akan sesuatu yang tertahan akan terbalas kok. Tidak sekarang, tapi nanti. Tidak ada satupun yang akan Allah sia-siakan atas apa yang telah dilakukan. Intinya, jangan perlakukan orang sesuka hati. Jangan egois. Sesayang dan secinta apapun seseorang kepadamu, dia juga punya hati yang harus dijaga dan dihargai.
Read More..

Hidayah Bukan Milikmu

Dengan langkah memburu aku menemuinya 

"Kamu merokok?". 

Wajahnya berpaling, memperlihatkan dengan jelas keengganannya menjawab pertanyaanku. Kulihat abu rokok berserakan di sudut ruangan.  Seketika sesak mendera.

Dalam benak terus terpikir untuk segera pergi dan tak terhanyut dengan masalah yang dibuat. Tersadar telah kutinggalkan banyak orang demi dia. Kilasan memori dua bulan lalu berputar layaknya sebuah cuplikan film. 

Teringat asalan dekat dengannya tak lain untuk murubahnya agar kembali ke jalan yang benar, hidup dengan lebih baik dan terarah. Betapa investasi akhirat yang menggiurkan bukan? 

Sosok yang kulihat kehilangan pegangan dan aku berharap semua yang aku lakukan dapat menjadi investasi akhirat saat jasad telah melebur bersama tanah. 

"Ka, jangan pergi. Kalau kakak juga pergi, lalu siapa lagi yang sayang sama aku?" 

"Lihatlah, banyak orang yang sangat peduli sama kakak. Sedangkan aku?"  Ucapannya terhenti, menoleh ke atas dan menarik oksigen dalam-dalam 

"Tetaplah tinggal". 

***

Pada akhirnya aku semakin tersadar, bahwa sekeras apapun usaha kita merubah seseorang, pada akhirnya hidayah tetaplah milik-Nya dan Dialah yang menentukan kepada siapa hidayah itu hendak Ia beri. Sungguh, hidayah itu bukan milikmu yang bebas engkau berikan kepada siapa saja yang engkau kehendaki.

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Al Qashash: 56)
Read More..

Minggu, 11 Oktober 2020

Berhijrahlah dengan Jujur



Selelah, dan sejenuh apapun dirimu dalam hijrah... 

Bertahanlah! 

Bertahanlah hingga akhir!

 Bukan Allah tak peduli padamu, akan tetapi Allah ingin pembuktian seberapa besar keimanan dan ketaatanmu kepadaNya... 

Berhijrahlah dengan jujur... 

Kelak, akan ada masa dimana Allah akan membalas seluruh ketaqwaan yang engkau usahakan karenaNya... 

Jika bukan di dunia, maka sebaik-baik balasan yang Ia berikan adalah di SurgaNya kelak

Read More..

Selasa, 29 September 2020

Dunia




Dunia... 

Seringkali menggiurkan, tapi juga menakutkan disaat yang sama... 

Mungkin bukan lelah, karena nyatanya lalai lebih dominan dibanding istiqomah di jalanNya...

Ya, ini bukan lelah... 
 
Ini rasa takut... 
 
Takut kehilangan kesenangan... 

Takut tak kuat menahan sakit, hingga akhirnya gagal sebelum berlabuh... 
 
Apapun itu... 
 
Semoga Allah -عز وجل - mengistiqomahkan kita hingga penghujung jalan...
 




Read More..

Minggu, 06 September 2020

Cerita yang Tak Pernah Usai, Jika Itu Tentangmu

Yogyakarta, 6 September 2020...

 

Apa kabar? 

Malam di kota ini semakin larut. Sepi, tapi tidak dengan suasana hati yang sedang bergemuruh. Sejenak menyesapi berbagai rasa yang selama ini selalu hadir namun sesaat. 

Rindu. Hanya kata itu yang mampu mewakili seluruh rasa yang bersemayam tanpa permisi. Satu-satunya rasa yang kuizinkan tinggal tanpa ada niatan mengabaikan. Tanpa harus ditepis, ataupun dimusnahkan kehadirannya. 

Rasa ini selalu berhasil membuatku berbicara tentangmu, lagi… dan lagi. 

Denganmu, aku belajar apa itu cinta sejati. Bukan hanya cinta, tapi juga rindu. Satu rasa yang tak pernah menyakiti jika itu tentangmu. 

Denganmu aku tersadar, bahwa bukan cinta sesungguhnya jika tak mendoakan, tak berjuang, ataupun berusaha agar orang yang dicintai mendapatkan sesuatu yang terbaik. 

Jika dahulu engkau yang selalu berjuang untukku, kini… izinkan aku yang berjuang untukmu. Izinkan aku merasakan sakit untukmu. Sakit yang dapat membuatmu damai dalam sunyi. Biar kurasakan. Semoga aku kuat…

Aku rindu… 
Allah Tahu, seberapa sering aku membisikikkan kata itu. Menyebutmu dalam doa. Berharap agar engkau mendapatkan tempat yang baik disana. 
 
Selalu menyebut semua kebaikan dan berbagai perubahan yang aku lakukan karenamu atas izin Allah. Itu salah satu cara yang aku lakukan, agar pahala tak pernah putus untukmu. Selalu kubisikan padaNya, bahwa aku mengetahui dan melakukan kebaikan A, B, dan C itu melaluimu… Ku katakan tanpa bosan… Selalu. 
 
Dalam hening aku merenung… 
Akankah kita bertemu kembali? Mengulang berbagai moment indah saat bersama? Saat yang tak akan pernah aku lupa ialah, saat memeluk dan mencium aroma parfum milikmu. Bahkan saat engkau dalam keadaan menyetir, yang menjadi kegemaranku adalah merangkul lehermu dari kursi belakang seraya mendalami aroma bahumu yang tertutupi oleh baju kaos yang engkau gunakan. 
 
Mengingat hal itu, aku kembali tersenyum. Banyak senyuman yang disertai air mata saat aku menulis ini. Indah, tanpa ada rasa sakit… 
 
Dulu, kita sering berpergian bersama. Saat kecil hingga SMP, aku yang paling sering engkau ajak safar berdua ke kampung halaman, Pare-Pare. Hampir setiap tahun engkau mengajakku. Hanya kita berdua… 
 
Kebiasaanku untuk ikut kemanapun engkau pergi tak pernah hilang. Hingga masuk masa putih abu-abu juga masih sama, aku selalu suka mengekori kemana kakimu melangkah. 
 
Terimakasih atas semua perhatian, kasih sayang, kelembutan, dan berbagai perlakuan manis yang selalu engkau berikan padaku sejak kecil hingga dewasa. 
 
Aku sangat bersyukur Allah pernah menitipkanku kepadamu. Allah menjagaku dengan baik melaluimu… 
 
Terima kasih telah meninggalkan cerita yang baik untuk dikenang. Engkau bukan sosok yang sempurnah, tapi engkau selalu tau bagaimana cara mendidik dan memberi hukuman tanpa harus meninggalkan bekas, hingga yang aku tahu tentangmu segalanya merupakan hal yang baik. Izinkan aku sekali lagi mengatakan 
 
RINDU. 
 
Aku merindukanmu sebagai sosok yang paling menyayangi dan memahamiku di bawah kolong langit. Sosok yang selalu paham tanpa aku harus bercerita panjang lebar. Mungkin aku kehilangan itu, tapi aku yakin suatu saat Allah akan menggantinya...
 

 
-Your baby girl-
Read More..

Minggu, 30 Agustus 2020

Belajar Memahami

Beberapa tahun lalu punya teman yang saat bersama keluhannya begitu banyak. Sakit fisik yang diderita, masalah keluarga, pertemanan, dll. Akan tetapi, saat bersama orang lain dia terlihat baik-baik saja, bahkan terlihat ceria. Sakit fisik yang selalu dikeluhkan saat bersamaku melebur entah kemana. 

Saat itu seorang teman berkata, "Kamu ngapain segitunya banget sama dia? Dia itu manja amat. Dia baik-baik saja kok. Aku heran masalah dan sakitnya seberat apa?" 
 
Mendengar itu aku hanya tersenyum. Tak terprovokasi, tapi tidak menyangga juga. Wajar. Aku pun terkadang heran, "Wong dia baik-baik saja kok, tapi kenapa selalu tak pernah ingin ditinggal? Selalu bawel dan selalu terlihat lemah saat bersama?" 
 
Dulu hanya sebatas empati. Sebatas ingin memperlakukan orang lain dengan perlakuan terbaik. Dan yang aku tahu, TOLERANSI SAKIT SETIAP ORANG ITU BERBEDA-BEDA. TIDAK SAMA. KITA MAMPU, BELUM TENTU DIA PUN DEMIKIAN. Bukannya sedang bermain peran. Tidak. Ia hanya tak ingin mengumbar keterpurukan dan rasa sakitnya kepada banyak orang. Itu yang aku pahami.

Seiring berjalannya waktu akhirnya aku belajar, bahwa seseorang terlihat baik-baik saja belum tentu hati dan fisiknya pun demikian. 

Terkadang ada rasa perih yang tertahan dalam setiap tawa. Ada sesak yang tersimpan dalam sebuah keceriaan. Hingga kita menemukan orang yang kita anggap tepat untuk dapat berbagi rasa, berbagi rasa sakit yang sebenarnya tak lagi dapat tertahan dalam waktu yang lebih lama. 
 
Terkadang kita hanya menunggu seseorang yang tepat. Seseorang yang membuat kita nyaman menumpahkan seluruh beban yang tersimpan, dan memperlihatkan bahwa "aku sedang tidak baik-baik saja."
Read More..

Kamis, 02 Januari 2020

Sepenggal Rindu

Rindu...

Setelah sekian lama, akhirnya kembali merasakan bagaimana rasanya benar-benar rindu pada seseorang...

Saat namanya selalu ada dalam setiap do'a, dan air mata tak pernah sanggup tertahan saat menyebutkan namanya dihadapan Ar Rahman...

Biar kutitipkan engkau kepada para Malaikat dan sebaik-baik Penjaga agar tak ada satupun makhluk di dunia ini yang mampu menyakiti dan mengganggu senyummu...


Dahulu aku lupa rasanya rindu. Sudah sangat lama rasanya tak pernah rindu kepada seseorang. Rindu yang berkepanjangan, bukan hanya datang sepintas lalu pergi. Ini beda. Ada rindu dan khawatir disaat yang sama. Berharap ia akan selalu baik-baik saja dan tak ada satu makhlukpun yang bisa mengganggunya.

Sekarang aku tau bagaimana rasanya rindu kampung halaman, rindu pulang, rindu bertemu orang tua sebagaimana orang kebanyakan. Lima bulan lalu sebelum melanjutkan studiku aku pernah bilang, "Aku senang merantau. Bahkan nanti ingin tinggal jauh dari kampung halaman". Mendengar itu, adikku sedikit kaget. Disaat kebanyakan orang tak ingin jauh dari keluarga aku malah sebaliknya. 

Bertahun-tahun aku terbiasa merantau, pulang setahun sekali, bahkan pernah saat idul fitri tak pulang karena ingin fokus pada target dan cari pengalaman baru. Tak masalah bagiku, aku tak begitu rindu. Cukup do'a, curhat pada Allah dan selesai. 

Tapi sekarang berbeda...
Yaa... Sekarang aku rindu. Sangat rindu, bahkan bisa menangis sedih karena rindu. Rindu ini awet, sejak empat bulan lalu dan tak hilang. Ini rindu keduaku kepada seseorang. Rindu yang selalu kubawa dalam do'a. Biar kuabadikan di sini, bahwa aku pernah rindu dan hanya akan tenang setelah berdo'a diiringi tangis pengharapan bahwa Allah akan selalu menjaganya.



Miss you mah.. 🌹





Semarang, 2 Januari 2020
Read More..

Kamis, 29 Agustus 2019

Cinta Membuatku Rela Menjadi Tukang Laundry

Alhamdulillah tak terasa sudah sepuluh tahun dalam hijrah. Flashback sekitar 8 tahun lalu, sempat ada dimasa saat ketertarikan pada buku begitu menggila. Sejak SMA lihat buku seperti ibu-ibu belanja ke mall terus lihat diskonan ^_^. Selalu sayang rasanya kalau sampai tidak terbeli. ^_^ 

Mau beli harganya puluhan, ratusan, bahkan ada yang jutaan. Minta ke ortu rasanya malu padahal masih SMA saat itu. Tapi entah kenapa sejak SMA selalu malu rasanya untuk minta uang apalagi untuk beli ini dan itu diluar kebutuhan. Bukan karena orang tua tidak mampu, tapi karena ingin merasakan bagaimana nikmatnya berjuang dan berusaha tanpa harus selalu minta ke ortu. 

Sampai akhirnya saat masuk pesantren bela-belain tidak jajan saat teman-teman yang lain pada jajan demi buku. Cuman beli coki-coki  gopean terus dibagi tiga buat pengganjal perut. Sengaja digunting jadi tiga bagian biar nanti bisa nyampe 1-2 hari. Saat lapar dimakan sedikit buat pengganjal perut sambil nunggu waktu makan, terus sisanya disimpan lagi buat dimakan pas lapar. Semua itu biar uang jatah jajan bisa ditabung untuk beli buku. ^_^

Sempat jadi tukang laundry juga pas zaman awal-awal mondok di Yogyakarta. Rela cuciin pakaian orang terus dijemur ke lantai tiga demi buku. Secinta itu, dan tidak malu sama sekali. Ingat sekali saat itu laundry sekilo tiga ribu rupiah. Nyucinya pakai tangan pula. He...

Sebelum berangkat ke sekolah baju-baju laundry sengaja direndam dulu. Bel istirahat saat teman-teman yang lain sibuk jajan dan ngobrol, aku buru-buru dengan langkah cepat bahkan terkadang lari kecil menuju KM (kamar mandi) buat ngucak pakaian laundry terus sholat dhuhah sebelum bel masuk berbunyi.
Kemudian saat bel pulang, langsung bergegas pulang duluan buat jemur cucian diember dan dibawa ke lantai tiga. Kebayang gak, angkat dua ember naik tangga ke lantai tiga pegelnya kayak apa disiang bolong? EMEJING...

Sorenya setelah tahfidz barulah jemuran-jemurannya diambil dari lantai tiga dibawah ke kamar buat dilipat dan diantar kepemiliknya masing-masing. Semuanya demi buku...









Tak sampai setahun jadi tukang laundry tanpa sepengetahuan ortu dan betapa lelahnya saat itu. Selalu ngos-ngosan, lupa rasanya tidur siang seperti apa, dan sholat adalah waktu istirahat terbaik, waktu istirahat terindah. Saat aku bisa curhat sepuasnya kepada Rabbku. Menceritakan sepuasnya betapa lelahnya aku saat itu. Betapa terkadang jenuh tapi juga ingin mengisi setiap detik waktuku dengan berjuang dijalan Allah.

Saat itu capek…

Tapi begitu indah…

Saat-saat dimana selama empat tahun aku lupa bagaimana rasanya tidur siang karena mengejar target hafalan qur’an...

Saat-saat dimana aku lupa bagaimana rasanya berleha-leha dan tertawa lepas tanpa beban, tertawa tanpa harus terbayang akan neraka...

Saat anak-anak SMA sebayamu sibuk nongkrong, dan kamu hanya selalu berdua dengan Al Qur’an…

Saat anak-anak SMA sebayamu banyak tertawa dan kamu rasanya selalu ingin menangis karena rindu akhirat…

Saat anak-anak SMA sebayamu menceritakan cita-cita besar mereka mengenai dunia, ingin jadi dokter dan meraih gelar setinggi mungkin dan yang ada dibenakmu hampir setiap saat kala itu hanyalah ingin masuk surga, tak ada lain…

Saat anak-anak SMA sebayamu begitu mudah menghamburkan uang, dan kamu berusaha kerja keras untuk membeli keperluan dan keinginanmu padahal orang tua mampu memberikannya…

Mungkin salah satunya karena dari kecil sudah didoktrin untuk merasakan susah, abi –rahimahullah- selalu bilang, “Hidup itu jangan enak terus. Harus merasakan yang namanya hidup susah, hidup mandiri dan berjuang. Hidup dengan perjuangan itu indah, rasanya akan beda dengan orang yang hidupnya serba enak.”
Dan karena itulah aku bergitu bersemangat untuk hidup dengan penuh perjuangan (walaupun aku tau, perjuanganku sungguh tak seberapa dan tak ada apa-apanya dibanding yang lain. Ya, setidaknya aku sudah sedikit berusaha. Berjuang dengan versiku sendiri)


Saat-saat itu...
Lelah memang, tapi ada kebahagiaan yang tidak akan pernah bisa dideskripsikan. Terimakasih yaa Rabb... Segala Puji BagiMu yang membuatku pernah merasakannya 🌹
Rindu 🌹🌹🌹
Read More..

About Me

Foto Saya
Akhwat's Note
Just an ordinary girl...
Lihat profil lengkapku